JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE: POSTER MEME BEM UI YANG MENDAPAT KECAMAN PEMERINTAH. FAKTANYA TENTANG BUALAN PRESIDEN RI

Sebuah utas yang dipublikasikan pada pukul 18.21 WIB oleh akun twitter @BEMUI_Official mengenai hal yang serupa dengan judul tulisan ini yaitu tentang kritik cerdas pada Presiden RI, Jokowi sampai tulisan ini dibuat saja sudah mendapat 15.1 ribu retweets, 5676 quote tweets dan 36.6 ribu likes. Hal ini membuktikan bahwa poin-poin yang terkandung dalam utas tersebut adalah cukup membuat panas dan dingin beberapa kalangan dalam satu waktu. Sampai puncaknya adalah dikeluarkannya Surat Undangan pada Minggu, 27 Juni 2021 dari pihak Rektorat UI pada anggota dan ketua BEM UI yang tengah menjabar saat ini yaitu Leon Alvinda.

 

Mari kita perjelas kembali poin-poin yang dimaksud sesuai dengan yang tercantum pada utas JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE:

POSTER PERTAMA

Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK dan rentetan janji lainnya.

KATANYA: “Saya kangen sebetulnya didemo. Karena apa? Apapun… apapun… pemerintah itu perlu dikontrol. Pemerintah itu perlu ada yang peringatin kalo keliru. Jadi kalua enggak ada demo itu keliru. Jadi sekarang saya sering ngomong di mana-mana ‘tolong saya didemo’. Pasti saya suruh masuk,” kata Jokowi, Selasa (8/11)

FAKTANYA:

Temuan Tindakan Kekerasan Aparat & Pembungkaman Negara Terhadap Aksi-Aksi Protes Menolak Omnibus Law di Berbagai Wilayah

May Day 2021 Jakarta Berakhir dengan Kekerasan, Pembatasan, dan Penangkapan Ratusan Orang Serta Penghalangan Akses Bantuan Hukum

KontraS Terima 1.500 Aduan Kekerasan Selama Demo Tolak UU Cipta Kerja

Hardiknas 2021: (Lagi) Aparat Tangkap Mahasiswa

Untuk poin yang dibahas pada poster pertama ini sudah mengindikasikan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh Presiden RI saat ini adalah perihal mengobral janji. Jadi, ingat sebuah ungkapan Nelson Mandela, “seorang pemimpin seperti gembala. Dia tetap berada di belakang kawanan, membiarkan yang paling gesit berada di depan, yang lain mengikuti, tidak menyadari bahwa selama ini mereka diarahkan dari belakang.” Ungkapan ini terdengar sarkas bagi penulis pribadi, namun ada benarnya juga. Bahwa untuk apa orang nomor satu di Indonesia repot-repot mengingatkan untuk mendemo dirinya. (Demo menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal; unjuk rasa.) Toh demo sendiri ada karena keadaan memang sudah sangat genting dan sebelum aksi juga didahulu dengan diskusi-diskusi atau kajian advokasi, demo bukanlah sembarang demo apalagi yang dilakukan oleh seorang mahasiswa. Demo adalah aksi terakhir yang dapat dilakukan ketika berbagai hal telah dilakukan untuk menyuarakan. Ada tuntutan yang diinginkan dan diharapkan pernyataan dan pembuktiannya dan bukanlah bualan semata. Bukankah selama ini jika ada demo yang turun bukanlah Presidennya langsung, lalu apa fungsi hierarki dalam pemerintahan?  

 

POSTER KEDUA

UU ITE: REVISI UNTUK MEREPRESI (?)

KATANYA: “Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini, karena di sinilah hulunya, hulunya ada di sini. Revisi, “ kata Jokowi dalam acara Pengarahan kepada Pimpinan TNI Polri, Senin, 15 Februari 2021.

FAKTANYA:

TII soal Usulan Pasal 45C UU ITE: Cuma Tambah Pasal Karet

UU ITE Menjadi-jadi

Bahaya Usulan Pasal Baru UU ITE

Di tengah polemik multiinterpretasi UU ITE, Jokowi melontarkan janji untuk merevisi undang-undang tersebut. Namun, bukannya memberikan jaminan berdemokrasi, rencana revisi tersebut kian merepresi kebebasan berekspresi dengan ditambahkannya sederet pasal karet.

 

Mengutip laman Berita Satu, menurut Supardji pengamat hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia mengatakan bahwa kelemahan UU di Indonesia terjadi karena tidak terpenuhinya salah satu syarat UU yang ideal. Pertama, UU yang dihasilkan harus predictability atau bisa memprediksi kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang. UU yang dihasilan harus bisa mengatasi masalah yang terjadi sekarang dan di masa mendatang. UU tersebut juga tidak mudah berubah sehingga ada nilai kepastian. Kedua, UU harus bisa menciptakan stability atau keseimbangan, UU seharusnya bisa menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari berbagai pihak. UU harus akomodatif dan aspiratif sehingga kepentingan para pihak yang bersaing bisa ditampung semuanya. Ketiga, UU harus mengandung unsur fairness. UU akan adil karena hakekat hukum dan UU adalah keadilan. Terakhir, beliau berharap pemerintah dan DPR benar-benar memperhatikan tiga syarat tersebut dalam proses pembuatan UU. Hal ini bertujuan agar UU bertahan lama, aspiratif dan berkeadilan. “Jangan sampai UU baru disahkan, sudah diprotes, dan bahkan langsung diuji materi ke MK atau pembahasan ditunda”, pungkasnya.

 

Selaras dengan pernyataan beliau, penulis setuju bahwa suatu UU harus mengandung tiga syarat tersebut untuk dianggap ideal menjadi sebuah UU, bukan sesuatu yang dapat dengan mudah dimintakan untuk direvisi, UU bukanlah sebuah pernyataan yang dengan mudahnya keluar dari mulut seseorang seperti jika ia kelaparan dan ingin makan, kemudian ia berhenti saat kenyang, terkadang ia bisa protes jika makanannya enak dan memuji jika makanannya selain mengenyangkan juga enak dipandang dan dimakan. Penulis menyayangkan bahwa peryataan di poster kedua ini juga keluar dari mulut orang nomor satu RI. Sangat tidak elok dan pantas untuk diujarkan oleh seorang yang menjadi pusat perhatian dari penjuru negeri.

 

Pada 11 Juni 2021 melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa pemerintah memastikan tetap melanjutkan revisi serta tak akan mencabut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang memfokuskan pada empat pasal yang direvisi diantaranya Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36. Empat pasal tersebut mengatur kesusilaan, fitnah dan pencemaran nama baik, ujaran kebencian, hingga ancaman secara elektronik. Menurutnya sifatnya semantik tapi substansif. (se.man.tik: ilmu tentang makna kata dan kalimat; pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran ari kata. Bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan atau struktur makna suatu wicara). Berikut beberapapetikan perubahan (yang seharusnya menjadi) usulan revisi UU ITE:

Pasal 27 ayat 1: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

Akan diusulkan menjadi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak untuk diketahui umum, menyiarkan, mempertunjukkan di muka umum, mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

 

Pasal 27 ayat 2 (Pasal ini direvisi dengan mengubah ketentuan pidana dalam Pasal 45): “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Menjadi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen ELektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud PAsal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.”

 

Pasal 27 Ayat 3: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Menjadi: “Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan maksud diketahui orang lain yang dilakukan melalui sarana Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.”

 

Pasal 27 ayat 4: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”

Menjadi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen ELektronik yang berisi ancaman pencemaran. ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, supaya membuat hutang, menghapuskan piutang, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dilakukan dengan menggunakan sarana Informasi Elektronik, dan/atau Dokumen Elektronik.”

Pasal 28 ayat 1: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”

Menjadi: “Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan sedangkan ia patut menduga pemberitahuan atau informasi tersebut dapat mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”

 

Pasal 28 ayat 2: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku. Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).”

Menjadi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menghasut, mengajak, atau mempengaruhi sehingga menggerakkan orang lain, mendistribusikan, dan/atau mentransmisikan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, kebangsaan, rasa, atau jenis kelamin, yang dilakukan melalui sarana Informasi Elektronik, dan/atau Dokumen Elektronik.”

 

Pasal 29: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”

Dibuat lebih detail menjadi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuat dan/atau mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti untuk diketahui oleh orang yang dikehendaki.”

 

Pasal 36: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan Hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.”

Menjadi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugina materiil bagi Orang lain.”

Sederet pasal-pasal yang dijanjikan akan direvisi itu nyatanya hanya sekadar wacana. Jangan berharap lebih banyak pada pemerintahan kita selain kita harus memperbanyak ilmu dan tidak asal menelan mentah-mentah perkataan seorang pejabat pemerintahan.

POSTER KETIGA

KATANYA: Jokowi Umbar Janji Perkuat KPK

Penguatan KPK, kata Jokowi, perlu dilakukan dengan penambahan penyidik. Penambahan penyidik dilakukan supaya KPK semakin kuat. “Kemudian memperbanyak penyidik yang ada. Saya kira ribuan lan perlu ditambahkan agar kekuatan KPK betul-betul sebagai institusi yang betul-betul begitu kuat”, tutupnya.

 

FAKTANYA:

Deretan Upaya Pelemahan KPK, dari Revisi UU, Kontroversi Firli Bahuri hingga Tes Alih Status ASN

 

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengatakan, deretan upaya untuk melemahkan KPK sudah dirancang dan dilakukan secara runtut. Mulai dari revisi undang-undang KPK, kontroversi kepemimpinan Firli Bahuri, serta perubahan status kepegawaian independent menjadi ASN. Terbaru, tidak lulusnya 75 pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan untuk beralih status menjadi ASN yang menuai polemik.

 

Pada masa pencalonan sebagai presiden, Jokowi pernah berjanji untuk memperkuat KPK dan menambah jumlah penyidik. Namun faktanya, saat ini terdapat berbagai upaya pelemahan KPK mulai dari Revisi UU KPK, kontroversi Firli Bahuri hingga TWK.

 

Kawan-kawan pembaca juga pasti sudah membaca berita bersliweran di sosial media mengenai alih status pegawai KPK menjadi ASN yang menuai polemik. Sungguh ini salah satu yang membuat penulis geram pada rezim ini. Pelemahan KPK sebagai lembaga independen awalnya, benar-benar dilakukan secara terang-terangan dan memangkas siapapun yang berseberangan opini dengan pemerintah salah satunya adalah Novel Baswedan yang yakin bahwa ada rencana besar dibalik Tes Wawasan Kebangsaan tersebut, memang benar adanya. Setelah oleh kawan-kawan BEM UI disuarakan. Penulis juga memastikan bahwa TWK ini adalah salah satu upaya yang sudah ditargetkan cukup matang oleh pemerintah.

 

“Semua mengindikasikan bahwa perkataan yang dilontarkan tidak lebih dari sekadar bentuk “lip service” semata”, lanjut utas di akun twitter BEM UI:

POSTER KEEMPAT

RAKYAT MENGGUGAT, PRESIDEN MENCEGAT

KATANYA: Jokowi: Jika Tak Puas Omnibus Law Silakan Bawa ke MK

“Jika masih ada tidak ada kepuasaan pada UU Cipta Kerja ini silakan ajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi”, kata Jokowi melalui siaran langsung YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (9/10)

 

FAKTANYA: Jokowi Minta MK Tolak Semua Gugatan tentang UU Cipta Kerja

“Pemerintah memohon kepada Yang Mulia majelis hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia beserta anggota majelis untuk memberikan putusan sebagai berikut: Pertama, menerima keterangan presiden secara keseluruhan, kedua menyatakan para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau “legal standing”, ketiga menolak permohonan pengajuan formil Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan keempat menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia 1945”, papar Airlangga.

Kurang dari setahun sejak disetujuinya UU Cipta Kerja, polemik terkait hal tersebut pun kian memanas. Pernyataan yang kontradiktif dari sosok pemimpin negara kita juga trut memantik kecurigaan public atas ketidakberesan birokrasi yang menyertainya.

 

Mengutip laman hukumonline.com secara umum, judicial review diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 sebagai berikut:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undnag-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Selain judicial review atau uji materiil juga diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Amandemen III UUD 1945 sebagai berikut:

“Mahkamah Agung berwenang menjadi pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undnag.”

 

Permohonan judicial review UU terhadap UUD 1945 atau yang disebut juga dengan istilah pengujian UU (PUU) terhadap UUD 1945 dapat dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sedangkan judicial review peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU menjadi wewenang Mahkamah Agung (MA). Objek permohonan judicial review ke MK tidak terbatas pada UU tapi juga bisa diajukan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undnag-Undang (Perppu) seperti yang ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undnag-Undang.

 

Berikut yang dapat mengajukan Permohonan Judicial Review

Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pihak yang merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan akibat diberlakukannya suatu UU dapat mengajukan permohonan PUU terhadap UUD 1945 ke MK (judicial review) sebagai pemohon, yaitu:

a.       Perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama;

b.       Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c.       Badan hukum publik atau privat; atau

d.       Lembaga negara

 

Adapun yang dimaksud denga hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya UU atau Perppu jika:

a.       Ada hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b.       Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon dirugikan oleh berlakunya UU atau Perppu yang dimohonkan pengujian;

c.       Kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan actual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d.       Ada hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya UU atau Perppu yang dimohonkan pengujian; dan

e.       Ada kemungkinan bahwa dnegan dikabulkannya permohonan, kerugian konstitusional sepertiyang didalilkan tidak lagi atau tidak akan terjadi.

 

Jadi, bagi siapapun yang hak konstitusionalnya telah dirugikan, bisa mengajukan judicial review ke MK. Fakta mengecewakan adalah bahwa Jokowi yang menyarankan untuk yang belum merasa puas mengenai Omnibus Law maka disilakan untuk mengajukan Judicial Review ke MK, sementara ia sendiri yang meminta MK menolak semua gugatan tersebut dengan alasan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Sederhananya begini, legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau perkara di depan MK. Dengan terpenuhinya persyaratan tentang kualifikasi legal standing, berarti tidak semua orang atau pihak mempunyai hak mengajukan permohonan ke MK. Hanya mereka yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum saja yang boleh menjadi pemohon dan berarti MK sudah menyadari status dari pemohon sebelumnya. Melihat kenyataan yang diutarakan oleh Jokowi yang menyiratkan bahwa judicial review itu dapat dilakukan oleh semua pihak, ini mengindikasikan bahwa tidak selamanya menghapalkan naskah itu mudah daripada melihat kenyataan yang ada. Kembali pada pernyataan di awal bahwa suatu UU akan ideal jika mengandung unsur predictability, stability dan fairness, jika tidak mengakibatkan penolakan dari berbagai pihak. Jika itu terjadi maka sudah jelas masalahnya ada di mana.

 

Opini ini dibuat sebagai bentuk kekecewaan penulis terhadap yang dilakukan oleh rezim yang terkesan main-main. Sekarang bilang begini, esok bilang begitu. Entah apa yang akan terjadi dalam waktu yang sangat panjang kedepannya di bawah kepemimpinan pemimpin yang cenderung bossy daripada menunjukkan sikap sebagai leader. Jika setiap critical thinking dianggap sebagai ujaran kebencian, pantas masyarakat mudah tertipu pada janji-janji kampanye di awal. Toh hal ini nyatanya merupakan antisipasi dari yang sedang duduk-duduk di istana untuk menghadapi kecaman apapun padanya. Jadi, dengan rendah hati penulis menjadi bagian yang tetap mendukung siapapun yang akan pun sedang menyuarakan kebenaran demi kepentingan banyak pihak. Jadi, mari kita kawal pemerintahan kita, dengan tetap membekali diri dengan ilmu apapun, agar tidak mudah tertipu dan sampaikan sedikit demi sedikit pemahaman pada keluarga sekitar tentang bentuk apa yang seharusnya pantas dikritik dan diberi nasihat demi hal yang lebih baik, jika semua hal telah dilakukan nyatanya masih membuat rezim bebal, maka kita dapat mengambil kesimpulan letak kesalahannya ada di pihak mana. #panjangumurperjuangan (6/28)


SUMBER:

Utas Pada Akun Twitter BEM UI Official

Jokowi Minta Tolak Semua Gugatan UU Cipta Kerja

Pengertian Legal Standing

Langkah Permohonan Judicial Review

UU ITE Batal Masuk Prolegnas

Poin Usulan UU ITE dari Konten Asusila Hingga Ujaran Kebencian

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Fair Trial dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Pendidikan Karakter dalam Dunia Pendidikan sebagai Dasar dalam Pembentukan Karakter Berkualitas Bangsa