"Principles of Legality" Kebijakan Pemerintah di Masa Pandemi, Quo Vadis?

    

Wabah corona dideklarasi oleh WHO sebagai Public Health Emergency of International Concern pada 30 Januari 2020, lalu pada 11 February 2020, WHO mengganti nama tersebut menjadi respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2), nama penyakitnya Covid-19, kasus – kasus mulai bermunculan di berbagai negara. Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia hanya dalam waktu beberapa bulan. 2 Maret, tepat setahun lalu Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan untuk pertama kalinya warga negara Indonesia terjangkit virus corona. Virus yang tak lama langsung menyebar ke seluruh penjuru negeri ini menjadi momok menakutkan bagi warga tanah air. Terhitung hari ini Jumat, 19 Maret 2021 total kasus di Indonesia tembus di angka 1.44 juta dan mengalami kenaikan kasus sejumlah 6.570, sementara untuk total sembuh di angka 1.27 juta dan mengalami kenaikan angka sembuh sejumlah 6.285.

Pemerintah masih sibuk mengatur segala macam kebijakan untuk meredakan kepanikan. Kebijakan-kebijakan mulai diberlakukan seperti Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Sekolah dan tempat kerja diliburkan (pengecualian untuk tempat usaha yang memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan) tempat ibadah ditutup, pemakaman bukan karena Covid-19 dibatasi, pemakaman karena Covid-19 berlaku protokol sana-sini, pelarangan kegiatan/perkumpulan/pertemuan politik, olahraga, hiburan, akademik, dan budaya. Fenomena-fenomena yang ditemui selama pandemi Covid-19 yakni kelangkaan masker dan hand sanitizer di awal-awal virus mewabah, keberadaan masker medis sangat sulit ditemui di pasaran bahkan membuat beberapa pelaku kreatif menciptakan sendiri berbagai kreasi masker kain dan varian hand sanitizer dengan iming-iming terbuat dari bahan paling alami. Larangan mudik juga diberlakukan. Bukannya menuruti aturan pemerintah, masyarakat justru saling mendahului meninggalkan Jabodetabek untuk pulang kampung dan terakhir wacana new normal yang benar-benar membuat segala kenormalan baru tercipta di penjuru negeri sejak tahun lalu di bulan Mei. Transisi new normal  diberlakukan sebab PSSB telah membuat makin kalut para pekerja, bagi yang terbiasa mencari nafkah di luar ruangan mau tidak mau harus melakukannya di rumah, hal ini berdampak pula pada pemberlakukan kebijakan-kebijakan aktivitas daring bagi berbagai pihak. Pemerintah nampaknya sangat khawatir roda perekonomian tidak sanggup melalui segala kepanikan yang terjadi dengan dadakan ini.

 

Hitam – Putih Aktivitas Daring di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 memberikan dampak besar bagi berbagai bidang diantaranya bidang pariwisata, transportasi, manufaktur dan satu yang cukup penting adalah pendidikan. Hitam-putih wajah baru dunia pendidikan ini berdampak pula bagi instansi pendidikan dan peserta didik. Dasar hukum yang melatarbelakangi aktivitas daring saat pandemi ini diantaranya Surat Keputusan Kepala BNPB Nomor 9.A. tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Virus Corona di Indonesia, Surat Edaran Mendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan Covid-10 pada Satuan Pendidikan, Surat Mendikbud No. 46962/MPK.A/HK/2020 tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam rangka Pencengahan Penyebaran Covid-19 pada Perguruan Tinggi, Surat Edaran Mendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam masa darurat penyebaran virus Corona, dan Surat Edaran Menteri PANRB No. 19 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah. 

Dasar-dasar hukum tersebut yang melatarbelakangi para pekerja, maupun pendidik dan peserta didik untuk melakukan aktivitas bekerja di rumah, belajar dari rumah, bahkan tagar  #dirumahaja cukup menggaung beberapa waktu di berbagai kanal media sosial. Dari beberapa dasar hukum tersebut mari menggarisbawahi bagian Surat Edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No. 4 Tahun 2020 tentang “Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19)”. Sejumlah kebijakan turunan dari Surat Edaran tersebut yaitu penghapusan Ujian Nasional, perubahan sistem Ujian Sekolah, perubahan regulasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), dan penetapan belajar dari rumah. Dari semua kebijakan tersebut, penetapan pembelajaran dari rumah-lah yang paling banyak menuai respon masyarakat, baik pihak pro dan kontra. Manfaat yang seharusnya dirasakan oleh peserta didik yaitu siswa tidak dibebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas dan atau kelulusan, pembelajaran dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup. Tugas dan aktivitas disesuaikan dengan minat dan kondisi siswa, serta mempertimbangkan kesenjangan akses dan fasilitas belajar di rumah. Namun nyatanya tidak semulus yang dibayangkan pemerintah. Siapa yang paling banyak menanggung resikonya?

Menurut Sofyan & Abdul (2019:82) Sistem pembelajaran daring yaitu sistem pembelajaran yang dilakukan dengan tidak bertatap mula langsung, tetapi mengunakan platform yang dapat membantu proses belajar mengajar yang dilakukan meskipun jarak jauh. Tujuan dari adanya pembelajaran daring yaitu memberikan layanan pembelajaran bermutu dalam jaringan yang bersifat masif dan terbuka untuk menjangkau peminat ruang belajar agar lebih banyak dan lebih luas. Ada beberapa aplikasi yang dapat membantu kegiatan belajar mengajar misalnya whatsapp, zoom, web blog, Edmodo. Melansir laman resmi Kemendikbud RI ada 12 platform atau aplikasi yang dapat diakses pelajar untuk belajar dari rumah yaitu Rumah Belajar, Meja Kita, Icando, Indonesiax, Google for Education, Kelas Pintar, Microsoft Office 365, Quipper School, Ruang Guru, Sekolahmu, Zenius, Cisco Webex. Semua dipersiapkan pemerintah juga demi mencegah banyak warga terpapar atau berpotensi menjadi carrier saat melakukan pembelajaran tatap muka. Demi memenuhi hak mendapatkan pendidikan yang layak bagi warganya, tentu pemerintah tidak main-main, seharusnya. Pun keberadaan setiap pendidik yang wajib memastikan kegiatan belajar mengajar tetap berjalan sebagaimana mestinya, mesikupun hal tersebut sepenuhnya dilakukan dari rumah. Setiap pendidik akhirnya dituntut untuk kreatif dalam mempersiapkan dan memanfaatkan media daring untuk pembelajaran pada masing-masing kelasnya.

            Namun pada pelaksanaannya, kesenjangan yang terjadi dalam menanggapi kebijakan pemerintah di berbagai daerah ditemui dan dibuktikan dengan ketidaksiapan pendidik dan instansi pendidikan itu sendiri. Kesenjangan dialami pula oleh peserta didik dan orang tua peserta didik yang tidak memiliki gawai sebagai media belajar. Beberapa kejahatan terkait pencurian gawai yang dilakukan orang tua peserta didik demi memenuhi kebutuhan anak pun terjadi seperti yang dilakukan oleh seorang Ayah di Garut yang nekat curi HP agar anaknya bisa belajar online. Namun berdasarkan pernyataan Kepala Kejaksaan Negeri Garut, kasus tersebut sudah ditutup sebab korban mencabut laporannya dan bahkan bantuan diberikan kepada keluarga pelaku. Hal serupa terjadi pula di bulan lalu ketika selebgram Ajudan Pribadi kehilangan gawainya di ruang tunggu Taxi Blue Bird di Bandara Soekarno-Hatta, pelakunya adalah seorang Ibu, barang curian tersebut digunakan pelaku untuk sekolah daring anaknya, pelaku mengganti sim card korban. Namun korban akhirnya mencabut laporan karena alasan kemanusiaan. Jika saja setiap korban tidak menyadari bahwa pentingnya menjunjung nilai-nilai kemanusiaan di masa kalut selama pandemi yang terjadi karena dampak dari pemberlakuan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya sendiri. Namun jika kemanusiaan di negeri ini sudah benar-benar mati, maka para pelaku bisa saja berakhir di jeruji besi sebab terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian ringan yang diatur dalam Pasal 362 KUHP, berbunyi:

 

Barang siapa mengambil sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

 

       Peristiwa lain terjadi pada seorang siswa yang dikabarkan bunuh diri akibat pemberlakuan belajar daring. Peristiwa ini dialami siswa berinisial AN (15) yang bersekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs) di wilayah Tarakan, Kalimantan Utara. Atas kejadian ini Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun turut ambil bagian. Insiden yang diduga dipicu dari banyaknya tugas sekolah secara daring yang belum dikerjakan korban sejak tahun ajaran baru. Hal tersebut membuat ia tak dapat mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Hal ini dibenarkan pula oleh ibu korban. Kasus serupa sudah terjadi sebanyak tiga kali, khususnya saat Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) fase kedua. September 2020, siswa Sekolah Dasar (SD) diduga dianiaya oleh orang tuanya sendiri karena sulit diajari saat PJJ. Kasus berikutnya menimpa siswi berumur 17 tahun asal Kabupaten Gowa diduga kuat bunuh diri karena depresi menghadapi tugas yang menumpuk. Berikut hasil survei dilansir dari laman KPAI mengenai pelaksanaan proses belajar jarak jauh di 20 provinsi dan 54 kabupaten.kota menyebut bahwa 73.2% siswa dari 1.700 responden yang artinya sebanyak 1.244 siswa, mengaku terbebani tugas dari para guru. Sebanyak 1.323 siswa dari seluruh responden berkata sulit mengumpulkan tugas karena guru meminta mengerjakannya dalam waktu singkat.

        Dampak pembelajaran daring menurut kacamata Psikolog mengatakan bahwa belajar jarak jauh atau daring dapat berpotensi membuat anak stress. Hal ini dapat dipicu jika tidak ada pendampingan orang tua di rumah. Anak mulai merasa merasa bosan dengan aktivitas di rumah saja, anak juga dituntut beradaptasi belajar dari rumah yang berbeda dengan di kelas sehingga hal ini menimbulkan gangguan psikis  pada anak, juga berpotensi munculnya stress pada anak. Pembelajaran daring dirasakan sulit diikuti oleh sebagian anak yang membutuhkan penjelasan melalui interaksi tatap muka dengan pendidik. Pun, hilangnya kesempatan untuk bermain dengan teman seusianya akan memberikan kesan tersendiri dibandingkan dengan melakukan pembelajaran daring yang terkesan monoton di rumah saja.

Tidak selamanya hal buruk ditemui berkenaan dengan pembelajaran daring. Keberadaan lingkungan peserta didik dan bagaimana ia dibesarkan nampaknya membawa pengaruh cukup banyak bagi terselenggaranya pembelajaran daring, seperti salah satu orang tua siswa Sekolah Dasar Negeri di Kota Cirebon yang penulis wawancarai via pesan teks mengutarakan bahwa anaknya mengalami peningkatan nilai, sebab ujiannya tidak seketat pada saat pembelajaran di kelas.

Pembelajaran daring juga waktunya menjadi terbatas karena cara pengajarannya singkat dan padat. Peran orang tua adalah sebagai pengingat batas waktu dan agar lekas dikerjakan, tugas juga dapat dikerjakan bertahap sesuai waktu yang sudah ditentukan oleh guru. Hal ini yang menginisiasi ia dan sejumlah orang tua siswa lainnya saat mengisi kuisioner dari sekolah yang dibagikan kepada orang tua murid untuk menolak pelaksanaan pembelajaran tatap muka untuk sementara waktu dikarenakan masih pandemi. Yang menjadi catatan adalah bahwa seluruh anggota orang tua siswa yang penulis wawancarai tersebut terpapar Covid-19 dan sedang menjalani isolasi mandiri di rumah. Bagaimana bisa ia masih menyemangati anaknya sendiri untuk tetap fokus pada tugas-tugas sekolah di saat masing-masing diantaranya sedang berjuang untuk menjaga sistem imun agar lekas pulih dari Covid-19. Hal ini tentu terjadi karena lingkungannya membiasakannya untuk disiplin dan selalu menjaga imunitas dengan melakukan kegiatan-kegiatan positif. Lagi, keberadaan instansi pendidikan dan pendidik harus lebih terbuka dan mau mendengarkan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh peserta didik. Garda terdepan untuk semua ini benar-benar ada pada masing-masing pribadi, bukan? Siapa yang mengutarakan pendapat, maka pihak lainnya mau tak mau harus menjadi pihak yang mendengarkan.

            Jika menilik opsi-opsi yang telah diberikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengenai kebijakan soal proses belajar daring selama pandemi bahwa guru tidak boleh mengejar kurikulum sehingga membebani peserta didik. Dalam kebijakan yang lain, juga diberikan tiga opsi kurikulum selama pandemi diantaranya sekolah tetap mengacu kurikulum nasional, sekolah memakai kurikulum darurat, dan sekolah menyederhanakan kurikulum secara mandiri. Jadi, selama proses pembelajaran daring, masing-masing instansi pendidikan dapat menggunakan kurikulum adaptif yang sudah disederhanakan.

       Penulis pun mewawancarai seorang tetangga yang merupakan guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri di daerah kami, ketika bertanya mengenai jenis kurikulum yang digunakan pada pembelajaran daring ia memberikan jawaban bahwa kurikulum yang digunakan adalah dengan penyederhanaan kurikulum. Hal ini sejalan dengan dukungan pemerintah terhadap kebijakan pelaksanaan kurikulum di masa khusus yakni satuan pendidikan dapat tetap menggunakan kurikulum nasional, menggunakan penyederhanaan kurikulum dalam kondisi khusus yang disusun oleh Kemendikbud, dan melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri.

 

Kebijakan Pemerintah di Masa Pandemi Menurut Principles of Legality

Pembelajaran daring sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Sejarah belajar daring sudah dimulai sekitar tahun 1980. Keinginan Indonesia untuk mengembangkan teknologi informasi sudah ada bahkan jauh sebelum adanya pandemi. Pengembangannya dilakukan melalui Indonesia Global Development Learning Network dan Indonesia Higher Education and Research Network (INHERENT). Ini membuktikan bahwa pembelajaran daring sudah diakui eksistensinya bahkan jauh sebelum pandemi Covid-19. Pemerintah sebenarnya dapat belajar dari Universitas Terbuka (UT) yang telah melakukan PJJ sejak tahun 1984. Bahkan UT menjadi salah satu dari 7 Universitas Terluas di Dunia bersanding dengan Universitas Terbuka Nasional Indira Gandhi, Universitas Nasional Bangladesh, Universitas Anadolu di Turki, Universitas Terbuka Allama Iqbal, Universitas Islam Azad, Universitas Negara Bagian New York. Dengan menerapkan PJJ, UT kini menampung lebih dari 500 ribu mahasiswa yang tersebar di dalam dan luar negeri, hal ini tentu dapat menjadikan salah satu pilihan bagi banyak orang yang ingin menempuh pendidikan tertinggi, tetapi tidak punya cukup akses finansial kuliah di kampus konvesional karena, terkendala kesibukan dari profesi yang sedang dijalani dan terkendala jarak. Jika melihat kenyataannya sekarang, penulis cukup yakin hal tersebut juga telah mendukung kebijakan pemerintah melalui Surat Edaran Mendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan Covid-10 pada Satuan Pendidikan, Surat Mendikbud No. 46962/MPK.A/HK/2020, tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam rangka Pencengahan Penyebaran Covid-19 pada Perguruan Tinggi.

Berapa yang menyadari bahwa kehadiran PJJ saat ini bahkan sangat erat kaitannya dengan keberadaan homeschooling yang mana tidak cukup popular di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Dengan ketidaksiapan pemerintah dalam membuat kebijakan yang terkesan buru-buru, dan ketidaksiapan yang dialami oleh instansi pendidikan terkhusus yang berada jauh dari jangkauan perkotaan, dan dengan keterbatasan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga pendidik, sudah sepatutnya pemerintah juga memberikan perhatian penuh pada akses-akses yang seharusnya dapat mempermudah guru dan murid, hingga dosen dan mahasiswa untuk terus mendapatkan akses pendidikan setara tanpa terkendala apapun bahkan ketika ia tidak dapat merasakan akses sarana pendidikan dan medianya secepat rekannya yang berada di perkotaan. Konsep PJJ yang sebenarnya adalah menghilangkan interaksi langsung, namun beberapa pendidik  di desa – desa masih harus menemui peserta didik karena peserta didik tidak mempunyai gawai sebagai media belajar dan keterbatasan akses jaringan internet (kuota) yang sangat penting bagi akses absen, belajar, mengunduh tugas, hingga mengirimkan tugas, hal ini yang luput dari perhatian pemerintah. Beruntungnya pemerintah kini menyiapkan bantuan kuota belajar yang dapat diterima oleh peserta didik dan pendidik selama tiga bulan dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Universitas. Hal ini tentu sia-sia bagi mereka yang bahkan memiliki gawai saja tidak dan lalu setelah tiga bulan berlalu, apakah pembelajaran tatap muka dengan otomatis akan dilaksanakan begitu saja? Mengingat bantuan kuota belajar di tahun 2021 ini merupakan tahap kedua dari bantuan tahap pertama yang digelontorkan akhir tahun 2020 lalu. Apakah akan ada tahap tiga bulan selanjutnya setelah ini? Penulis yakin bahwa kebijakan ini akan dikembalikan pula dengan sendirinya oleh pemerintah pada masing-masing instansi pendidikan. Seolah pemerintah sudah merencanakan turun tangan dan lepas tangan pada waktunya.

Hal ini diperparah dengan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Mendikbud saat ini bersifat ad hoc. Hal ini disebabkan peraturan yang ada di dalam Undang-Undang memang dibuat untuk keadaan normal bukan dalam situasi-situasi darurat. Pemerintah seharusnya dapat memperhatikan hierarki peraturan Perundang-Undangan yakni dengan urutan-urutan sebagai berikut: Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Kabupaten atau Kota. Ini menunjukkan kegagapan pemerintah dalam membuat regulasi. Ketentuan PJJ sebenarnya pernah diatur dalam Permenristekdikti No. 51 Tahun 2018, sementara untuk tingkat sekolah dasar dan menengah ada Permendikbud No. 119 Tahun 2014. Ciri utama PJJ menganut sistem keterbukaan, kemandirian belajar, ketuntasan belajar, teknologi informasi dan komunikasi pendidikan, dan teknologi pendidikan lainnya.

            Dapatkah sebagian besar instansi pendidikan bertahan dengan pembelajaran daring? Jawaban yang penulis harapkan adalah sangat bisa asal dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, bagaimana tidak negara kita sebenarnya sudah mencanangkan ini sejak beberapa tahun silam, beberapa perguruan tinggi selain Universitas Terbuka pun turut bergabung dalam pelopor pembelajaran daring atau PJJ ini dalam rentang 2015-2019 yakni Binus University, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Surabaya, Institut Teknologi Bandung, Amikom Yogyakarta, Universitas Syiah Kuala, Universitas Tanjung Pura, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Negeri Medan, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Surabaya. Meskipun aturan PJJ ini telah ada namun tidak membuat seluruh instansi pendidikan dapat melaksanakan PJJ karena syarat utama yang harus dipenuhi adalah instansi pendidikan tersebut telah memiliki sistem pembelajaran yang berbasis teknologi dan sistem tersebut harus terus dikembangkan seiring berjalannya waktu. Hemat penulis jika sistem tatap muka dilaksanakan dalam waktu dekat atau pada akhirnya memang harus benar-benar melaksanakan pembelajaran tatap muka, maka pemerintah juga tidak boleh lepas tangan pada kebijakan – kebijakan yang pernah diberikan yakni harus memperhatikan bagaimana kelanjutan sistem pembelajaran yang akan digunakan di masing-masing tingkatan instansi pendidikan, apakah akan memberlakukan sistem daring, blended learning atau menghilangkan sistem pembelajaran daring sepenuhnya dan membuatnya kembali ke awal lagi kecuali dengan kebiasaan-kebiasaan baru mengenai protokol kesehatan yang harus dipatuhi, dari 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak), kini menjadi 5M (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilitas dan interaksi). Lihat, seberapa cepat kebijakan protokol ini berubah.

       Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan seakan terkesan terburu-buru demi membuat kepanikan masyarakat mereda secepatnya. Dengan memperhatikan apa yang menjadi poin penting dari pembahasan dalam esai penulis kali ini. Bahwa jika saja semua pihak memahami sumber hukum tertinggi di NKRI yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam UUD 1945 tersebut telah disediakan pasal yang dapat dijadikan landasan dalam membuat aturan-aturan hukum apabila negara dan bangsa Indonesia dalam keadaan bahaya yaitu Pasal 12 yang berbunyi:

 

“Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”.

 

        Salah satu dari keadaan bahaya itu yang dialami kita semua saat ini yaitu pandemi Covid-19 yang telah melumpuhkan seluruh sendi kehidupan negeri. Belum adanya regulasi khusus untuk bidang pendidikan di masa darurat yang dibuat pemerintah, sehingga saat terjadi pandemi ini aturan yang dijadikan acuan menjadi tidak tepat karena memang dirancang untuk diterapkan bukan dalam keadaan darurat,

            Fuller (dalam Satjipto Rahardjo 1986:53) mengemukakan suatu pendapat bahwa ada delapan asas (principles of legality) untuk menentukan suatu sistem hukum yaitu pertama suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yang dimaksud di sini adalah ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan yang bersifat ad hoc. Kedua, peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. Ketiga, tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, memberikan peraturan yang berlaku surut berarti merusak integritas pengaturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang. Keempat, peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti. Kelima, suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain. Keenam, peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. Ketujuh, tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan orang akan kehilangan orientasi. Kedelapan, harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

            Maka, jelaslah bahwa aturan-aturan yang dibuat khusus tentang PJJ di masa pandemi ini bersifat ad hoc. Penting pula untuk memperhatikan substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dalam sistem hukum Indonesia, sebab ketiganya saling berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan yang sama berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Demi terealisasinya tujuan tersebut, tentu tidak dikehendaki adanya konflik diantara unsur-unsur sistem. Jikalau konflik itu terjadi, maka sudah seharusnya diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri dan tidak dibiarkan agar berlarut-larut. Cara sistem mengatasinya adalah dengan menyediakan sarana yang konsisten, berupa asas-asas hukum. Sehingga kalau terjadi konflik, maka akan berlaku secara konsisten asas-asas lex specialis derogate legi generali, lex posteriori derogate legi priori, atau lex superior derogate legi inferiori. Sistem hukum Indonesia merupakan sistem terbuka, karena disamping tiap unsur saling mempengaruhi, faktor di luar sistem juga dapat memberikan pengaruh. Seperti yang tengah kita hadapi saat ini, tidak konsistennya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang berujung pada terjadinya hitam-putih selama aktivitas daring di berbagai lini di masa pandemi.

 

Akhir Kata

     Kebijakan Aktivitas Daring di Masa Pandemi merupakan salah satu solusi untuk menerapkan social distancing guna mencegah mata rantai penyebaran wabah Covid-19, namun sekali lagi itu semua sifatnya hanya sementara, beragam bantuan pemerintah yang menunjang sistem pembelajaran daring yang sebenarnya sudah tidak asing di beberapa kalangan bahkan sebelum pandemi ini sudah sepatutnya menjadi perhatian penting bagi pemerintah terkhusus karena bidang pendidikan belum mempunyai dasar hukum yang dapat dijadikan acuan ketika menghadapi kondisi bencana dan atau bahaya, tidak seperti bidang kesehatan yang sudah lebih dahulu memiliki aturan tersebut. Dengan adanya tagar #dirumahaja, Bekerja dari Rumah dan Belajar dari Rumah, banyak pihak yang menjadi mandiri karenanya, itupun kalau ditunjang dengan sarana dan media yang memadai, yang menjadikan momen sebagai kegiatan berkumpul dengan keluarga yang sebelumnya jarang dilakukan. Namun tak sedikit malah menjadi momok menakutkan bagi pihak lainnya. Sekali lagi, pemerintah harus benar-benar memperhatikan dampak dari kebijakan yang dikeluarkannya.

        Pemerintah harus tetap berpedoman pada aturan tertinggi negeri ini yakni Undang – Undang Dasar 1945 dan berpedoman pada asas-asas hukum (principles of legality) dan Sistem Hukum Indonesia dalam membuat berbagai kebijakan bahkan jika itu terkesan darurat, sehingga tidak akan adanya pertentangan dari kebijakan meski dengan tujuan mulia awalnya, demi mencarikan solusi bagi negara. Warga negara ini sudah sangat pintar mengkritik dan memberi masukan, alangkah baiknya jika mendengarkan apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan bagi masyarakat daripada membuat kebijakan yang berubah-ubah untuk menutup alasan karena kekosongan aturan yang dibuat selama pandemi.

            Indonesia yang penulis cita-citakan, baik untuk hal-hal yang berkenaan di masa lalu, hal-hal yang terjadi di masa kini, dan apa yang akan terjadi di masa nanti, semoga kedepannya pemerintah dapat belajar dari pandemi Covid-19 ini, dengan lebih tanggap mempersiapkan segala hal bahkan jauh sebelum hal itu akan benar-benar terjadi. Tentu sebagai mahasiswa dan agent of change penulis juga akan mengambil bagian di generasi penulis untuk tetap memberikan kritik dan masukan membangun pada pemerintah sebagai penyambung lidah masyarakat. Pesan untuk pemerintah agar tetap berpedoman pada aturan tertinggi negeri, UUD 1945 dan Pancasila. Tetap disiplin dalam menerapkan regulasi-regulasi yang tidak membuat berbagai pihak saling bersinggungan. Sehingga tidak akan ada istilah sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah banyak masyarakat yang menderita bahkan ditinggalkan keluarga sebab Covid-19 ditambah sikap pemerintah yang terkesan tidak serius dalam mempersiapkan kebijakan yang dikeluarkannya sendiri hanya akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE: POSTER MEME BEM UI YANG MENDAPAT KECAMAN PEMERINTAH. FAKTANYA TENTANG BUALAN PRESIDEN RI

Prinsip Fair Trial dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Pendidikan Karakter dalam Dunia Pendidikan sebagai Dasar dalam Pembentukan Karakter Berkualitas Bangsa